LIRANEWS.COM | Di tengah lembah tandus yang dikelilingi bukit cadas dan pasir membara, berdirilah sebuah rumah batu yang kelak akan menjadi titik pusat dunia Islam: Kakbah. Rumah itu dibangun bukan oleh raja atau penguasa, tetapi oleh seorang tua dari Babilonia dan putranya, lelaki sepi yang percaya hanya pada satu Tuhan: Allah Yang Tunggal.
Ibrahim dan Ismail, begitu nama mereka terpatri dalam memori sejarah, memancangkan fondasi rumah suci itu di tengah Jazirah, bukan sekadar untuk mendirikan bangunan, melainkan untuk meletakkan tiang-tiang keyakinan: bahwa manusia hanya tunduk kepada Allah, bukan kepada batu, bukan kepada bintang.
Namun sejarah tidak selalu berjalan lurus. Monoteisme yang diajarkan Ibrahim perlahan larut dalam kabut keyakinan-keyakinan lain, hingga rumah yang semula suci itu berubah wajah, menjadi pusat peribadatan berhala yang agung, dikunjungi oleh para pemuja patung dari seluruh pelosok jazirah.
Kakbah: Dari Rumah Tauhid ke Singgasana Paganisme
Sejarah tidak pernah menyebutkan secara rinci bagaimana rumah ibadah Ibrahim berubah fungsi menjadi pusat berhala. Namun dari catatan-catatan yang berserak dalam teks kuno dan riwayat para sejarawan, muncul sebuah pola yang menggambarkan pergeseran lambat namun pasti: dari Tauhid menuju paganisme.
Para penyembah bintang, kaum Sabian dari Mesopotamia, diduga punya andil dalam proses ini. Mereka awalnya tidak menyembah bintang secara langsung, melainkan mengagungkan benda langit itu sebagai manifestasi kebesaran Sang Pencipta. Tapi karena abstraksi tentang Tuhan dianggap terlalu tinggi, simbol-simbol itu pun direduksi: bintang dijadikan tuhan, batu dijadikan totem.
“Mereka menyembah batu, karena percaya batu itu jatuh dari langit,” tulis seorang sejarawan Arab.
Batu-batu itu—termasuk yang kita kenal sebagai Hajar Aswad—tidak hanya disucikan, tapi dibawa kemana-mana. Muhammad Husain Haekal dalam bukunya berjudul “Sejarah Hidup Muhammad” menulis setiap kafilah, sebelum melakukan perjalanan atau menetap, memilih batu sebagai pengganti Kakbah pribadi—untuk disembah, dipuja, dan dimintai restu.
Makkah: Dari Desa Gembala ke Titik Temu Peradaban
Ketika Ibrahim mendirikan Kakbah, Makkah bukanlah kota. Ia hanya sebuah kampung sunyi di persimpangan kafilah: tempat lewat para pedagang dari Syam, Yaman, Hira, hingga Najd. Namun keberadaan sumur Zamzam dan keberkahan doa Ibrahim menjadikan lembah ini tumbuh, perlahan namun pasti, menjadi kota.
Jurhum dan Amalekit, dua kabilah pertama yang menguasai tanah itu, mewariskan Makkah kepada keturunan Ismail. Selama beberapa generasi, mereka menjaga Kakbah dan warisan Ibrahim. Tapi seiring waktu, kekuasaan itu berubah rupa. Ketika tangan-tangan elite mulai merengkuh urusan suci, agama pun mulai dipolitisasi.
Pada masa Qushayy bin Kilab, leluhur kelima Nabi Muhammad, Makkah telah menjadi pusat kekuasaan sekaligus ziarah. Ia menyatukan jabatan-jabatan strategis: penjaga kunci Kakbah (hijaba), penyedia air dan makanan jamaah (siqaya dan rifada), pemimpin rapat tahunan (nadwa), hingga komandan militer (qiyada). Simbol-simbol religius dan politik dijahit dalam satu kesatuan.
Namun sebelum Qushayy, kekuasaan sempat direbut Khuza’ah setelah Jurhum lengah dalam gelimang kemewahan. Peringatan demi peringatan diabaikan. Sumur Zamzam bahkan sempat dikubur, disembunyikan harta persembahan dan pelana emas ke dasarnya oleh Mudzadz bin ‘Amr, sebagai pertanda jatuhnya kejayaan Jurhum.
Para Nabi, dan Penolakan yang Diwariskan
Beberapa nabi diutus ke tanah Arab untuk meluruskan kembali jalan yang pernah ditempuh Ibrahim. Hud datang kepada kaum ‘Ad di utara Hadhramaut. Saleh mendekati Thamud di Hijr, sementara Syu’aib menyeru penduduk Madyan yang terletak di Hijaz. Semuanya ditolak. Pesan ketauhidan dianggap angin lalu.
“Hud, kau datang tidak membawa keterangan yang jelas,” kata kaumnya. “Kami tidak percaya kepadamu.” (Q.S. Hud: 53)
Kakbah tetap menjadi pusat ziarah, namun bukan lagi kepada Allah, melainkan kepada Lata, Uzza, dan Manat, tiga dewi utama Arab pagan. Ritual penyembelihan, sujud, sesajen, dan thawaf dilakukan… tapi dalam nama yang lain.
Warisan yang Tertinggal
Ketika Muhammad lahir, Kakbah tak ubahnya museum politeisme: berisi 360 patung, satu untuk tiap hari. Namun di dalamnya, masih ada jejak Ibrahim: Hajar Aswad, sisa pondasi tua, dan legenda-legenda samar tentang Tuhan Yang Satu.
Ia datang, membawa pesan lama dalam bentuk baru. Ia tidak sekadar meluruskan arah kiblat, tapi menutup lingkaran sejarah yang sempat patah. Kakbah kembali menjadi rumah Allah, bukan rumah tuhan-tuhan batu.
Namun warisan Qushayy, Jurhum, Khuza’ah dan semua yang pernah menguasai lembah suci tetap hidup dalam jejak-jejak tradisi. Bahwa sebuah rumah bisa menjadi pusat iman, atau pusat pengkultusan. Bahwa sebuah bangunan bisa menjadi jembatan menuju langit… atau cermin kebingungan manusia terhadap makna ilahi.
Discussion about this post