JAKARTA, LIRANEWS.COM | Di antara lembar-lembar sejarah Indonesia yang penuh coretan darah, idealisme, dan luka yang belum sembuh total, nama dr. Hariman Siregar bergema seperti lonceng dari menara tua, nyaring, penuh makna, dan sukar diabaikan. Ia bukan pahlawan berseragam atau birokrat yang duduk manis dalam gemerincing kursi empuk kekuasaan. Ia adalah dokter, aktivisme, dan simbol perlawanan.
Dari Kampus ke Medan Juragan
dr. Hariman Siregar Lahir pada 1 Mei 1950 di Parapat Sumatera Utara, Hariman Siregar bukanlah anak kandung politik. Ia lahir dari rahim akademik, disusui oleh semangat intelektualisme, dan dibesarkan oleh idealisme mahasiswa yang sedang mabuk cinta pada cita-cita kemerdekaan sejati. Saat ia mengecap pendidikan kedokteran di Universitas Indonesia, darah aktivis mulai berdenyut di nadinya.
Menjelang tahun 1974, aroma ketidakadilan di bawah pemerintahan Soeharto mulai menguar busuk. Korupsi merajalela, nepotisme menjadi sistem, dan modal asing diberi karpet merah sementara rakyat mengais remah-remah. Dalam iklim seperti inilah Hariman naik ke panggung sejarah, bukan sebagai figuran, tapi sebagai sutradara dari sebuah drama besar bernama MALARI, Malapetaka Lima Belas Januari.
MALARI Lidah Terbakar Menjadi Api
Peristiwa MALARI bukan sekadar kebakaran. Ia adalah letusan gunung yang lama ditekan. Saat kunjungan Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka ke Jakarta, Hariman dan kawan-kawan melihat momen itu sebagai simbol ekonomi, Jepang dianggap sedang menjajah Indonesia dengan baju investasi.
Hariman, sebagai Ketua Dewan Mahasiswa UI, menggerakkan barisan mahasiswa dari berbagai kampus untuk turun ke jalan. Seruan mereka tegas, kemandirian ekonomi, pemberantasan korupsi, dan penolakan terhadap dominasi modal asing.
Hariman dan Mahasiswa Masa Kini
Hari ini, saat siswa lebih akrab dengan TikTok, dan Medsos Lainya, daripada Baca Buku Tan Malaka, dan refleksi lebih sering jadi konten daripada konsistensi, nama Hariman Siregar mungkin terdengar seperti kisah dari planet lain. Tapi sejarah tak pernah kehilangan relevansinya. Ia seperti hantu yang baik, selalu datang mengingatkan, bahwa kemerdekaan tidak datang gratis, dan bahwa suara hati nurani harus lebih nyaring daripada suara likes dan share.
Hariman Siregar mengajarkan bahwa menjadi intelektual sejati bukan sekadar
lulus cum laude, tapi berani mengatakan “tidak” pada kekuasaan yang membusuk. Ia mengajarkan bahwa kampus bukan hanya tempat belajar, tapi benteng terakhir kebebasan berpikir.
Idealismemu Masih Hidup, Dokter
Hari ini, mungkin Hariman Siregar berjalan pelan, rambut mulai memutih, mata menyimpan ribuan kenangan. Tapi idealismenya tak pernah renta. Ia tetap menjadi inspirasi, terutama ketika negeri ini lagi-lagi terancam dijual ke tangan-tangan yang tak pernah kenyang.
Ia mungkin bukan pahlawan resmi, tapi dalam sejarah pelajar Indonesia, namanya adalah legenda. LN-Benz Jono Hartono Sastranegara
Selamat Ulang Tahun Bang Hariman 1 Mei 2025
Discussion about this post