UPAYA pemerintah untuk menulis ulang sejarah Indonesia dengan “nada positif” kembali menuai kejadiannya. Menteri Kebudayaan Fadli Zon menyebut langkah ini penting untuk menghapus bias kolonial dan membangun narasi Indonesia sentris.
Sementara itu, Menteri HAM Natalius Pigai menegaskan bahwa nada positif tidak berarti menyembunyikan kebenaran, melainkan menulis sejarah secara utuh dan apa adanya.
Sejujurnya, tidak ada bangsa besar yang enggan berdamai dengan sejarahnya, sekelam apa pun babak masa lalu itu. Namun, menulis ulang sejarah tidak bisa hanya dilandasi niat baik, apalagi sekadar semangat merias wajah masa lalu agar tampak lebih sedap dipandang.
Publik menaruh curiga bukan tanpa sebab. Penulisan ulang sejarah acap kali identik dengan manipulasi, pelurusan sepihak, bahkan pembentukan ingatan kolektif baru yang dibangun berdasarkan kepentingan penguasa saat ini. Maka, keterlibatan lebih dari 100 sejarawan, 113 penulis, dan puluhan editor yang disebutkan Menteri Kebudayaan perlu diimbangi dengan transparansi proses serta partisipasi ruang yang luas-luasnya.
Sejarah bukan milik pemenang, melainkan milik bangsa. Oleh karena itu, segala bentuk penyusunan kembali sejarah Indonesia harus dilakukan dengan objektivitas, integritas akademik, dan keberanian untuk tetap menyebut luka sebagai luka, dan kejahatan sebagai kejahatan.
Kementerian HAM, sebagaimana disampaikan Natalius Pigai, memegang peran penting dalam mengawal keadilan dalam narasi sejarah. Fakta pelanggaran HAM berat tidak boleh dikaburkan atas nama optimisme. Tone positif yang dimaksud seyogianya adalah narasi yang mengajak bangsa ini untuk belajar dari kesalahan, bukan menutupi kesalahan.
Dalam konteks ini, kritik dari DPR RI, PDIP, hingga tokoh-tokoh masyarakat patut diperhatikan. Ketua DPR Puan Maharani mengingatkan agar tidak ada peristiwa yang dihilangkan atau istilah sejarah yang dihapus begitu saja. Sementara PDIP melalui Djarot S. Hidayat mengingatkan agar sejarah tidak menjadi “kisahnya”, cerita dari satu pihak saja.
Pemerintah harus memastikan bahwa proyek senilai Rp9 miliar ini bukan sekadar upaya “branding historis” menjelang perayaan HUT ke-80 RI. Jika penulisan ulang sejarah Indonesia hanya menjadi perayaan simbolik tanpa substansi, maka itu sama saja menambah daftar panjang pengabdian terhadap ingatan bangsa.
Sudah waktunya kita jujur dan matang dalam menyikapi sejarah. Luka masa lalu bukan untuk dibuka kembali dengan balas dendam, melainkan untuk diingat dengan jujur demi tidak kembalinya. Sejarah yang ditulis dengan benar, adil, dan transparan justru akan memperkuat identitas nasional serta menjadi jembatan menuju masa depan yang lebih bijak.
Dengan demikian, penulisan ulang sejarah tidak menjadi proyek kosmetik, melainkan langkah rekonsiliasi bangsa yang sejati. Sebab, seperti yang diingatkan Bung Karno: “Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah.” (*)
Discussion about this post