JAKARTA, LIRANEWS.COM | Di atas kertas, Indonesia sudah memiliki semua syarat menjadi raksasa aluminium dunia. Cadangan bauksit menduduki peringkat keempat global. Kandungan aluminium di dalamnya tergolong tinggi. Bahkan, pemerintah sudah melangkah dengan kebijakan berani: menyetop ekspor bijih bauksit sejak 11 Juni 2023.
Namun, satu tahun berselang, pertanyaan utamanya bukan lagi tentang potensi—melainkan kesiapan. Apakah negeri ini benar-benar sanggup melompat dari eksportir mentah menjadi pemain hilir yang tangguh?
Ilham Iskandar, Kepala Divisi Perdagangan Nikel dan Bauksit PT Aneka Tambang Tbk. (ANTAM), tampak percaya diri. Dalam forum Indonesia Critical Minerals, Rabu 4 Juni 2025, ia menekankan bahwa hilirisasi bisa mengantar Indonesia menjadi pusat industri aluminium dunia.
Dengan cadangan 500 juta ton bauksit dan kandungan aluminium yang mencapai 48 persen, Ilham menyebut, “Pabrik aluminium bisa menghemat biaya ketika memproses bauksit Indonesia.”
Optimisme ini sejalan dengan gagasan Joko Widodo kala masih menjadi presiden. Sejak pelarangan ekspor nikel berhasil menggandakan pendapatan negara, ia memantapkan langkah serupa untuk bauksit.
Ia ingin nilai tambah mengalir di dalam negeri. Dari Rp21 triliun ke Rp62 triliun, begitu perhitungan pendapatan negara dari industrialisasi bauksit. Ditambah janji lapangan kerja dan distribusi ekonomi yang lebih merata.
Tapi janji itu ternyata berjalan di atas tanah lapang—secara harfiah.
12 Smelter, 7 Tanah Kosong
Pemerintah mengklaim ada 12 proyek smelter bauksit. Namun, menurut laporan Kementerian ESDM, dari 8 yang dipantau, hanya satu yang nyata. Tujuh lainnya masih berupa tanah kosong. Beberapa bahkan diduga “abal-abal”, sebagaimana dikritik oleh Indonesian Mining & Energy Forum (IMEF). Audit menyeluruh menjadi permintaan utama.
Sementara itu, industri bauksit dalam negeri hanya mampu menyerap sekitar 14 juta ton per tahun, dari total produksi 30 juta ton. Sisanya? Menumpuk di lahan, menunggu nasib. Tak bisa diekspor, tak bisa diolah. Lama-lama rusak oleh air hujan, dan tak lagi laku dijual.
Konsekuensinya brutal: PHK massal mulai terjadi.
Menurut Ronald Sulistyanto dari Asosiasi Pengusaha Bauksit dan Bijih Besi Indonesia (APB3I), lebih dari 1.400 karyawan telah kehilangan pekerjaan sejak kebijakan ini diterapkan. Penyebabnya jelas: tak semua perusahaan mendapatkan izin kerja (RKAB), dan daya tampung smelter yang terlalu kecil membuat banyak tambang berhenti beroperasi.
“Kalau separuh produksi berhenti, separuh karyawan pasti ikut berhenti juga,” ujar Ronald. Belum termasuk kontraktor dan pekerja informal yang menggantungkan hidup di sekitar industri ini.
Lebih jauh lagi, daerah-daerah penghasil seperti Kalimantan Barat mulai menggeliat. Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Maman Abdurrahman bahkan mendorong pemerintah membuka kembali ekspor bauksit dengan kuota terbatas demi menggerakkan ekonomi lokal yang kini tertekan.
Namun, membuka kembali keran ekspor bukan perkara mudah. Pemerintah punya luka lama: kebijakan larangan ekspor nikel digugat Uni Eropa di WTO. Dan kini, ekspor bauksit pun bisa menimbulkan perkara serupa.
Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menegaskan tak akan memberi relaksasi. “Tidak ada [relaksasi ekspor], enak saja,” katanya. Di sisi lain, ia mengakui bahwa hilirisasi akan ditinjau ulang.
Hilirisasi: Kebutuhan atau Dogma?
Pertanyaan kunci muncul: apakah hilirisasi dipaksakan ketika infrastrukturnya belum siap? Ekonom UGM Fahmi Radhi menyebut bahwa larangan ekspor disertai Harga Patokan Mineral (HPM) bisa menjadi disinsentif bagi pengusaha untuk sekadar mengekspor. Tapi tanpa dorongan investasi konkret, disinsentif bisa berubah menjadi disinsentri ekonomi.
Memang, ada secercah harapan dari proyek seperti Smelter Grade Alumina Refinery (SGAR) di Mempawah. Proyek patungan antara ANTAM dan INALUM ini telah mengirimkan ekspor perdana, menjadi satu-satunya cerita sukses yang bisa dibanggakan sejauh ini. Antam juga berkomitmen membangun pabrik logam mulia di Gresik, serta mendukung proyek nikel untuk baterai kendaraan listrik.
Namun satu proyek tak bisa menanggung beban seluruh industri. Apalagi ketika ratusan ribu ton bauksit tak bisa keluar dari tanah.
Program hilirisasi memang penting. Tapi seperti kata pepatah industri: membangun ekosistem tak bisa instan. Industri tak lahir dari larangan, tapi dari insentif, infrastruktur, dan kepastian hukum.
Jika tidak, Indonesia bisa mengulang cerita lama: kaya sumber daya, tapi gagal mengolahnya sendiri.
Seperti smelter yang tak dibangun, hilirisasi bisa berubah menjadi janji yang cuma tertulis di atas tanah lapang.
Discussion about this post