DALAM ibadah haji, terdapat suatu manasik (upacara) di mana Nabi Muhammad SAW menjadi teladan bagi umat Islam. Begitu orang mengetahui bahwa Nabi telah menetapkan akan pergi haji dan mengajak mereka ikut serta, tersebarlah ajakan itu ke segenap penjuru semenanjung.
Ribuan orang datang ke Madinah dari berbagai penjuru: dari kota-kota dan pedalaman, dari pegunungan dan padang pasir, dari semua pelosok Tanah Arab yang membentang luas, yang kala itu telah bersinar dengan cahaya Tuhan dan cahaya Nabi yang mulia.
Di sekitar kota Madinah pun telah didirikan kemah-kemah untuk seratus ribu orang atau lebih yang datang memenuhi seruan Nabi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Muhammad Husain Haekal dalam buku “Sejarah Hidup Muhammad” mengisahkan mereka datang sebagai saudara untuk saling mengenal; mereka dipersatukan oleh rasa kasih sayang, keikhlasan hati, dan ukhuwah Islamiah—padahal dalam tahun-tahun sebelumnya mereka saling bermusuhan.
Kala itu, ribuan orang itu sedang mengamati kota, masing-masing dengan senyum di bibir dan wajah yang cerah berseri-seri. Berkumpulnya mereka menggambarkan kebenaran yang telah memperoleh kemenangan. Nur Ilahi telah tersebar luas, menjadikan mereka semua teguh bersatu laksana sebuah bangunan yang kokoh.
Pada 25 Zulkaidah tahun kesepuluh Hijriah, Nabi berangkat bersama seluruh istri-istrinya, masing-masing dalam hodah (tandu di atas unta). Ia berangkat dengan diikuti jumlah manusia yang sangat besar. Sejarawan menyebutkan ada yang mengatakan 90.000 orang, ada pula yang menyebutkan 114.000 orang. Mereka berangkat dipenuhi iman, jantung mereka dipenuhi kegembiraan dan keikhlasan, menuju Baitullah yang suci. Mereka hendak menunaikan ibadah haji akbar.
Sesampainya di Dzul-Hulaifah, mereka berhenti dan bermalam di sana. Keesokan harinya, setelah Nabi mengenakan pakaian ihram, kaum Muslimin yang lain pun mengenakan ihram. Semuanya memakai dua lembar kain, yaitu kain bawah dan kain atas sederhana, tanpa perbedaan status. Dengan demikian, mereka telah menegakkan prinsip persamaan dengan makna yang sangat jelas.
Dengan sepenuh hati, Nabi Muhammad menghadapkan diri kepada Allah dengan mengucapkan talbiyah yang diikuti oleh kaum Muslimin di belakangnya:
“Labbaika Allahumma labbaika, labbaika la syarika laka labbaika. Alhamdu lillah, wan-ni‘matu, wasy-syukru laka, la syarika laka.” (“Kupenuhi panggilan-Mu, ya Allah, kupenuhi panggilan-Mu. Tiada sekutu bagi-Mu. Segala puji, nikmat, dan syukur adalah milik-Mu. Tiada sekutu bagi-Mu.”)
Lembah-lembah dan padang pasir pun seakan menyambut seruan ini; semuanya berseru dengan penuh keimanan. Puluhan ribu kafilah menyusuri jalan dari Madinah menuju Kota Suci. Mereka berhenti di setiap masjid untuk menunaikan kewajiban sembari menyerukan talbiyah—tanda ketaatan dan rasa syukur atas nikmat Allah.
Dengan sabar mereka menanti tibanya ibadah haji akbar. Dengan hati rindu, dengan jantung berdebar penuh cinta kepada Baitullah. Padang-padang pasir, pegunungan, lembah, dan hamparan tanaman hijau pun seakan tersentak oleh gema talbiyah itu, sesuatu yang belum pernah dikenal sebelum datangnya Nabi yang ummi ini, Rasul dan Hamba Allah.
Tatkala rombongan itu sampai di Sarif, sebuah tempat antara Makkah dan Madinah, Muhammad berkata kepada para sahabatnya:
“Barang siapa di antara kalian tidak membawa hewan kurban dan ingin menjadikan ihram ini sebagai umrah, lakukanlah. Tetapi yang membawa hewan kurban, jangan.”
Ketika jamaah haji tiba di Makkah pada hari keempat Zulhijjah, Nabi segera menuju Ka‘bah diikuti oleh kaum Muslimin. Ia menyentuh Hajar Aswad dan menciumnya, lalu melakukan tawaf sebanyak tujuh putaran. Pada tiga putaran pertama, ia berlari-lari kecil seperti yang dilakukannya saat Umratul-Qadha. Setelah salat di Maqam Ibrahim, ia kembali mencium Hajar Aswad. Kemudian ia keluar dari masjid menuju bukit Shafa, dan melaksanakan sa’i antara Shafa dan Marwah.
Selanjutnya, Nabi berseru agar siapa pun yang tidak membawa hewan kurban tidak terus mengenakan pakaian ihram. Beberapa orang masih ragu-ragu. Nabi pun marah, seraya berkata: “Apa yang kuperintahkan, lakukanlah!”
Dalam keadaan masih gusar, Nabi masuk ke dalam tendanya. Aisyah pun bertanya: “Mengapa engkau marah?”
Nabi menjawab, “Bagaimana aku tidak marah, aku telah memerintahkan sesuatu tapi mereka ragu melakukannya.”
Seorang sahabat datang menemuinya dan berkata: “Rasulullah, orang yang membuat engkau marah pasti masuk neraka.”
Nabi menjawab: “Tidakkah engkau tahu bahwa aku telah memerintahkan sesuatu kepada mereka tapi mereka masih ragu-ragu? Jika aku mendapat tugas, aku tidak akan mundur! Aku tidak membawa hewan kurban kemari sebelum aku membelinya. Setelah itu, aku pun melepas ihram sebagaimana mereka. (HR Muslim.)
Begitu kaum Muslimin tahu bahwa Rasulullah sampai marah, ribuan dari mereka segera melepas ihram dengan perasaan menyesal. Para istri Nabi dan putrinya, Fatimah, juga melepaskan ihram. Hanya mereka yang membawa hewan kurban yang tetap mengenakannya.
Sementara kaum Muslimin menunaikan ibadah haji, Ali bin Abi Thalib kembali dari ekspedisinya ke Yaman. Ia telah mengenakan ihram karena mengetahui Rasulullah memimpin jamaah haji. Ketika ia bertemu Fatimah dan melihatnya telah melepas ihram, ia pun bertanya. Fatimah menjelaskan bahwa Nabi memerintahkan mereka melepas ihram setelah melaksanakan umrah. Ali pun segera menemui Nabi untuk melaporkan hasil perjalanannya.
Setelah laporan selesai, Nabi berkata: “Pergilah bertawaf di Kakbah, lalu lepaskan ihrammu seperti teman-temanmu yang lain.”
Ali menjawab: “Rasulullah, saya telah mengucapkan niat (ihlal) sebagaimana yang tuan ucapkan.”
Nabi menjawab lagi: “Kembalilah dan lepaskan ihrammu seperti teman-temanmu yang lain.”
Ali pun berkata: “Rasulullah, ketika saya mengenakan ihram, saya berkata: ‘Ya Allah, saya berihlal seperti yang dilakukan oleh Nabi-Mu, Hamba-Mu, dan Rasul-Mu Muhammad.’”
Nabi bertanya, kalau-kalau dia sudah mempunyai binatang kurban. Setelah oleh Ali dijawab tidak, Nabi Muhammad membagikan binatang kurban yang dibawanya itu kepada Ali. Dengan demikian Ali tetap mengenakan ihram dan melakukan manasik haji akbar sampai selesai.
Discussion about this post