Jejak proyek digitalisasi pendidikan senilai Rp9,98 triliun itu kini mengarah ke dugaan pemufakatan jahat. Chromebook yang tak kompatibel dengan banyak sekolah justru dibela habis-habisan. Benarkah Nadiem Makarim menjadi buron?
JAKARTA, LIRANEWS.COM | Laptop itu kini tinggal nama di sejumlah sekolah di pedalaman Kalimantan dan Nusa Tenggara. Teronggok di sudut ruang guru, dibiarkan berdebu. Di tempat lain, tak sedikit yang rusak atau bahkan belum pernah dinyalakan. Bukan karena rusaknya perangkat, melainkan absennya hal paling mendasar, sinyal internet.
Itulah nasib sebagian dari jutaan Chromebook yang digelontorkan pemerintah lewat program Digitalisasi Sekolah antara 2019 hingga 2022. Total anggaran yang digelontorkan mencapai Rp9,98 triliun. Sebuah ambisi besar yang kini berubah menjadi dugaan mega-korupsi.
“Laptop itu tidak bisa kami gunakan. Jaringan saja susah di sini,” kata seorang guru di Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur, pekan lalu.
Masalah teknis ini sebenarnya bukan hal baru. Jauh sebelum proyek bergulir, pada 2018, Kementerian Pendidikan lewat tim teknis Pustekkom sudah melakukan uji coba terhadap Chromebook di sejumlah sekolah. Hasilnya gamblang: tidak cocok untuk daerah yang minim infrastruktur internet. Rekomendasi teknis waktu itu menyarankan laptop berbasis Windows—sistem yang lebih fleksibel dan bisa digunakan secara offline.
Namun dua tahun berselang, hasil kajian itu menguap. Pemerintah justru menetapkan Chromebook sebagai perangkat utama untuk digitalisasi pendidikan. Dananya mengalir deras, sebagian besar melalui Dana Alokasi Khusus (DAK).
Keputusan itu kini mencuat ke permukaan sebagai skandal kebijakan, setelah Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) menaikkan kasus ini ke tahap penyidikan sejak 20 Mei 2025. Lebih dari 20 saksi telah diperiksa. Dugaan sementara: ada upaya sistematis memanipulasi kajian teknis agar spesifikasi Chromebook lolos dalam pengadaan.
“Kami menduga ada pemufakatan jahat sejak awal,” kata Harli Siregar, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Selasa, 3 Juni 2025.
Staf Khusus dalam Sorotan
Tiga nama mencuat dalam penyidikan. Bukan pejabat struktural, melainkan para mantan staf khusus Menteri Nadiem Makarim. Mereka adalah Jurist Tan, Fiona Handayani, dan Ibrahim Arief. Ketiganya disebut sebagai figur yang punya pengaruh besar dalam arah kebijakan teknologi Kemendikbudristek selama era digitalisasi.
Kejaksaan telah menggeledah apartemen Jurist dan Fiona, serta rumah Ibrahim di Cilandak. Puluhan dokumen dan perangkat elektronik disita.
Latar belakang Jurist menarik perhatian. Lulusan Yale, dikenal luas di kalangan startup teknologi. Namun yang paling menyita perhatian penyidik adalah hubungan pribadinya. Suaminya, menurut informasi yang beredar, merupakan petinggi Google Asia Tenggara. Fakta ini membuka dugaan konflik kepentingan, mengingat sistem operasi Chromebook dikembangkan oleh Google.
Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) bahkan meminta penyidik memeriksa sang suami. “Harus ditelusuri apakah ada keuntungan langsung maupun tidak langsung yang diperoleh pihak tertentu,” ujar Koordinator MAKI, Boyamin Saiman.
Bayang-bayang Google, Bayang-bayang Politik
Jika benar terjadi manipulasi kajian, pertanyaan berikutnya adalah: siapa yang memberi perintah? Dalam pengadaan pemerintah, rekomendasi teknis semestinya menjadi dasar spesifikasi. Namun dalam proyek ini, kajian awal yang mengarah ke Windows diabaikan, digantikan oleh rekomendasi baru yang mendukung Chromebook.
Penyidik mendalami kemungkinan adanya intervensi terhadap proses pengambilan keputusan. Selain staf khusus, sejumlah mantan pejabat struktural juga diperiksa, termasuk mantan Dirjen PAUD-Dikdasmen Hamid Muhammad, mantan Direktur Pembinaan SMP Poppy Dewi, serta pejabat pembuat komitmen Wahyu Haryadi.
Sosok Ibrahim Arief, mantan CTO GovTech Edu, disebut sebagai figur kunci yang mengarahkan spesifikasi proyek. Ia sebelumnya dikenal sebagai VP Engineering di Bukalapak dan punya jejaring kuat di ekosistem startup.
“Staf khusus ini harus dijelaskan kerjanya apa, tanggung jawabnya sampai di mana,” ujar Harli.
Nadiem dan Spekulasi Buronan
Nama Nadiem Makarim, sebagai Menteri yang mengawali proyek, tak bisa dihindari dalam pusaran kasus ini. Namun hingga kini, Kejaksaan menegaskan belum pernah memanggil Nadiem sebagai saksi.
Spekulasi sempat merebak di media sosial bahwa Nadiem masuk daftar pencarian orang (DPO). Narasi ini disebar lewat video yang menampilkan penggeledahan sebuah apartemen dengan klaim itu milik Nadiem. Kejaksaan segera membantah.
“Itu tidak benar. Yang kami geledah adalah apartemen milik salah satu mantan staf khusus,” tegas Harli.
Guru Besar Hukum Pidana Universitas Tarumanegara, Herry Firmansyah, menyebut Kejaksaan tak perlu menunggu izin siapa pun untuk memeriksa Nadiem. “Jika relevan dengan perkara, panggil saja. Penegakan hukum tak boleh tersandera oleh kekuasaan,” katanya.
Laptop Tanpa Jejak, Pendidikan Tanpa Arah
Nasib laptop-laptop Chromebook kini jadi ironi dari ambisi besar pemerintah mendigitalisasi pendidikan. Di banyak daerah, perangkat itu sekadar “monumen” proyek, tak mampu dipakai karena keterbatasan infrastruktur. Di tempat lain, sekolah bahkan tak tahu bagaimana mengoperasikannya.
Pendidikan yang semestinya menjadi pembebas, justru terseret dalam proyek yang diduga sarat konflik kepentingan dan manipulasi.
Tak cuma menyisakan lubang besar di anggaran negara, proyek ini juga memperlihatkan betapa mudahnya kajian teknis dikompromikan, hanya demi membenarkan kebijakan yang sudah “dipesan”.
Pengusutan hukum masih berjalan. Belum ada tersangka. Tapi aroma skandal semakin tajam. Dan laptop-laptop itu, yang kini tak berfungsi di sudut-sudut ruang kelas, menjadi saksi bisu dari sebuah kebijakan yang diselewengkan.
Discussion about this post