BANJARBARU, LIRANEWS.COM | Kasus pembunuhan jurnalis muda Juwita (23) oleh oknum prajurit TNI AL Kelasi Satu Jumran menyisakan luka mendalam di hati publik dan mengusik kepercayaan terhadap institusi militer. Setelah tuntutan pidana seumur hidup yang diajukan Oditurat Militer (Odmil) III-15 Banjarmasin, drama hukum terus bergulir di ruang sidang Pengadilan Militer I-06 Banjarmasin.
Sidang pembacaan tuntutan pada Rabu, 4 Juni 2025 menghadirkan suasana serius. Kepala Odmil Letkol CHK Sunandi secara tegas menuntut pidana seumur hidup kepada Jumran. “Perbuatan terdakwa telah merusak citra institusi TNI dan bertentangan dengan Sapta Marga serta sumpah prajurit,” tegas Sunandi. Dia menambahkan, pembunuhan itu direncanakan dan dilakukan secara sengaja, tanpa alasan pembenar atau pemaaf.
Meski tuntutan ini sudah berat, keluarga korban menyatakan kekecewaan mendalam. Kuasa hukum mereka, Muhamad Pazri, menilai tuntutan pidana seumur hidup belum sepadan dengan beratnya kejahatan yang dilakukan oleh seorang aparat negara. “Kalau masyarakat sipil bisa dihukum mati atas kasus serupa, mengapa tidak dengan terdakwa yang juga seorang prajurit?” kritik Pazri.
Lapisan Kekerasan dan Femisida
Organisasi sipil The Indonesian Legal Resource Center (ILRC) mengungkapkan bahwa kasus ini tidak hanya sebatas pembunuhan biasa. Direktur Eksekutif ILRC, Siti Aminah Tardi, menyatakan bahwa korban merupakan korban kekerasan seksual yang berujung pada kematian, sebuah gambaran femisida yang perlu diakui dan ditangani serius.
“Kekerasan seksual berupa perkosaan dan pemaksaan perkawinan yang dialami Juwita sebelum kematiannya menambah dimensi kejahatan ini. Terdakwa harus bertanggung jawab penuh atas seluruh tindak kekerasan, bukan hanya pembunuhan,” kata Siti Aminah.
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) pun menyoroti pentingnya menghadirkan saksi ahli forensik guna mengungkap fakta medis terkait visum et repertum (VeR).
Hasil autopsi menunjukkan luka lebam dan bukti sperma di tubuh korban yang mengindikasikan adanya kekerasan seksual. Namun, klaim hubungan “pacaran” oleh TNI AL belum bisa dijadikan alasan pembenaran atas kekerasan tersebut.
Polemik Hukuman dan Harapan Keadilan
Tuntutan pidana seumur hidup dinilai sudah cukup dari sisi bukti hukum, tapi belum memuaskan rasa keadilan keluarga korban maupun sebagian publik. Terdakwa masih berpeluang mengajukan pledoi dan pembelaan, yang membuat putusan akhir belum pasti.
Dalam sistem peradilan militer, tekanan untuk menunjukkan wibawa institusi sering bertentangan dengan harapan publik akan transparansi dan keadilan. Kasus ini menjadi ujian bagi sistem hukum militer di Indonesia, apakah mampu menghukum secara adil seorang anggota yang tersandung kasus kejahatan berat di luar tugasnya.
Kepala Odmil Banjarmasin menegaskan bahwa jika vonis sudah berkekuatan hukum tetap, terdakwa akan dipecat dari dinas TNI AL dan statusnya berubah menjadi sipil. Namun, proses penegakan hukum harus tetap berjalan tanpa kompromi.
Korban dan Keluarga: Siapa yang Memperjuangkan Mereka?
Juwita adalah jurnalis muda yang berprestasi, telah mengantongi sertifikat uji kompetensi wartawan (UKW), dan menjadi tulang punggung keluarga. Kepergiannya meninggalkan duka yang tak terobati, terutama karena kasus ini menimbulkan pertanyaan mendalam tentang perlindungan bagi pekerja media dan perempuan di Indonesia.
Penting untuk diingat, keadilan tidak hanya soal hukuman penjara atau denda, tapi juga pemulihan hak korban dan keluarganya. Restitusi dan kompensasi yang layak harus diberikan agar luka batin dan materiil keluarga korban bisa terobati.
Kasus pembunuhan Juwita bukan hanya tentang individu, melainkan juga refleksi kondisi institusi dan masyarakat. Bagaimana seorang prajurit yang seharusnya menjadi pelindung malah menjadi pelaku kejahatan mengerikan? Bagaimana sistem hukum militer memastikan tidak ada perlakuan istimewa bagi pelaku kejahatan, terutama yang melibatkan kekerasan seksual?
Pertanyaan-pertanyaan ini harus dijawab dengan tegas dan transparan. Hanya dengan begitu, kepercayaan publik terhadap TNI dan sistem peradilan bisa dipulihkan. Selain itu, perlindungan bagi jurnalis dan perempuan korban kekerasan harus diperkuat, agar tragedi serupa tak terulang kembali.
Discussion about this post