PADA 2019, dunia pendidikan Indonesia digadang-gadang akan mengalami lompatan besar melalui program digitalisasi yang diinisiasi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek). Dengan biaya fantastis hampir Rp10 triliun, proyek pengadaan laptop Chromebook untuk ratusan ribu sekolah dari tingkat dasar hingga menengah dimulai dengan jargon mulia: mempercepat kemajuan pendidikan lewat teknologi.
Namun, lima tahun berlalu, lompatan itu justru menjadi beban, dan kini menyangkut ranah hukum. Kejaksaan Agung menaikkan status penyelidikan proyek ini menjadi penyidikan dengan indikasi kuat rekayasa pengadaan, mulai dari kajian teknis yang diubah tanpa alasan objektif, hingga dugaan permufakatan jahat antara pejabat internal dengan pihak asing.
Proyek yang dirancang untuk mendukung Asesmen Kompetensi Minimum (AKM) itu bermula dari uji coba 1.000 unit Chromebook pada 2018–2019 yang hasilnya jauh dari memuaskan. Chromebook yang berbasis ChromeOS sangat bergantung pada koneksi internet stabil, sebuah kondisi yang tidak tersedia secara merata di berbagai daerah Indonesia. Kajian teknis awal merekomendasikan penggunaan sistem operasi Windows yang lebih fleksibel dengan kondisi jaringan yang ada.
Entah mengapa, kajian itu tiba-tiba diganti dengan versi yang mendorong penggunaan ChromeOS. Kajian baru ini seolah sengaja dibuat untuk mengarahkan pengadaan ke vendor tertentu. “Kami menemukan indikasi pemufakatan jahat,” ungkap Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Harli Siregar, dalam konferensi pers.
Dua mantan staf khusus Mendikbudristek, Fiona Handayani dan Jurist Tan, kini menjadi fokus penyidikan. Jurist Tan diduga memiliki peran penting dalam pembuatan kajian teknis yang “diubah”. Lebih mencurigakan lagi, suami Jurist Tan adalah pejabat senior Google Asia Tenggara, pemilik sistem operasi ChromeOS.
Dugaan konflik kepentingan ini menimbulkan spekulasi serius tentang intervensi korporasi asing dalam kebijakan pendidikan nasional. Ini bukan hanya korupsi biasa, tapi intervensi asing yang membayangi masa depan pendidikan kita.
Proyek ini dibiayai dari dana satuan pendidikan sebesar Rp3,58 triliun dan Dana Alokasi Khusus Rp6,4 triliun. Namun ironisnya, perangkat yang dibeli tidak berfungsi optimal di lapangan. Koneksi internet minim membuat ribuan Chromebook menjadi tumpukan besi tak berguna. Kondisi ini jelas jauh dari tujuan digitalisasi yang seharusnya memperkaya pengalaman belajar pelajar.
Anggota Komisi III DPR, Abdullah, menyebut proyek ini sebagai perampokan sistemik terhadap masa depan generasi bangsa. “Yang dicuri bukan hanya uang rakyat, tapi masa depan anak-anak kita,” katanya.
Kasus ini membuka fakta pahit bahwa jargon digitalisasi bisa menjadi kedok untuk skema rekayasa dan mark-up proyek berskala besar. Di tengah pandemi yang makin menegaskan urgensi teknologi dalam pendidikan, laptop yang seharusnya jadi solusi malah jadi simbol kegagalan birokrasi dan korupsi.
Nama-nama besar pun mulai terseret, termasuk mantan Menteri Nadiem Makarim yang hingga kini belum memberi klarifikasi. Bahkan, muncul spekulasi keterlibatan tokoh lain seperti Luhut Binsar Panjaitan terkait saham perusahaan lokal yang mendapat kontrak pengadaan.
Harus Kembali ke Akar
Digitalisasi bukan soal membeli perangkat mahal tanpa memperhatikan kesiapan infrastruktur dan kebutuhan riil sekolah. Ia harus menyasar kesetaraan akses, peningkatan kualitas pengajaran, serta pembekalan guru agar teknologi dapat dimanfaatkan secara efektif.
Kegagalan proyek Chromebook ini harus jadi pelajaran berharga bahwa niat baik tanpa integritas dan transparansi akan berujung pada pengkhianatan terhadap hak dasar anak-anak Indonesia untuk mendapatkan pendidikan bermutu.
Lebih jauh lagi, skandal ini menuntut pengusutan tuntas, dari aktor teknis hingga pengambil keputusan politik. Di tahun politik ini, menjadi ujian bagi komitmen pemerintah baru untuk menegakkan keadilan dan membasmi korupsi. Publik menunggu kejelasan dan tindakan tegas agar digitalisasi pendidikan tidak menjadi ladang korupsi berkedok modernisasi.
Digitalisasi pendidikan adalah masa depan bangsa. Jangan biarkan masa depan itu sirna hanya karena permainan para pemangku kepentingan yang tidak bertanggung jawab. Jika benar niatnya untuk bangsa, transparansi dan akuntabilitas harus menjadi pondasi utama.
Discussion about this post