Dari Jakarta hingga Ohio, lanskap ritel modern sedang terbalik. Bukan sekadar jualan, kini bisnis butuh pengalaman, inovasi, dan koneksi sosial.
JAKARTA, LIRANEWS.COM | Gedung-gedung ritel besar yang pernah berdiri megah di pusat perbelanjaan ibu kota kini mulai tampak kosong. Lampu padam, rak-rak dibiarkan kosong, dan tanda “disewakan” terpampang di balik kaca etalase. Dalam beberapa tahun terakhir, banyak nama besar di sektor ritel modern memilih menutup gerainya secara permanen—sebuah sinyal dari gemuruh yang lebih dalam.
“Kalau ritel modern hanya jualan, tidak ada *experience*, tidak ada journey, ya pasti akan kalah dengan UMKM,” ujar Menteri Perdagangan Budi Santoso dalam sebuah pertemuan dengan Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) di Jakarta, Rabu 4 Juni 2025. Ia menyebut transformasi industri ini sudah tak terhindarkan. Konsumen berubah, dan begitu pula dunia ritel.
Fenomena ini tak hanya terjadi di Indonesia. Jauh di Amerika Serikat, Joann Inc, pengecer kerajinan tangan berusia 82 tahun, menyatakan menyerah.
Perusahaan dengan 800 toko dan 19.000 karyawan itu akan menutup seluruh operasionalnya setelah dua kali bangkrut dalam waktu setahun. “Kami telah melakukan segala upaya,” kata juru bicara perusahaan dalam pernyataan tertulis. Tapi perubahan gaya belanja dan gangguan rantai pasok merontokkan pertahanannya.
Konsumen Baru, Tantangan Baru
Ada benang merah yang bisa ditarik dari dua belahan dunia itu: perubahan perilaku belanja. “Dulu orang belanja bulanan. Sekarang harian, bahkan sesaat,” kata Septo Soepriyatno, Direktur Bina Usaha Perdagangan Kemendag.
Menurutnya, masyarakat kini lebih memilih warung dekat rumah atau toko kecil yang fleksibel dan cepat.
Sektor ritel modern, yang dibangun untuk melayani volume besar, lamban beradaptasi. “Banyak pusat perbelanjaan tidak lagi relevan dengan kebutuhan sosial masyarakat. Tempat belanja bukan hanya tentang produk, tapi juga ruang untuk nongkrong, makan, dan berkumpul,” tambah Budi.
Alih-alih menjadi pusat keramaian, banyak mal kini justru menjadi museum dari masa lalu.
SRC dan Kebangkitan UMKM
Namun, di balik kabar buruk dari sektor ritel modern, UMKM justru menunjukkan napas baru. Sampoerna Retail Community (SRC), jaringan toko kelontong binaan PT SRC Indonesia Sembilan, melesat pesat. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mencatat jumlah SRC telah mencapai 250 ribu toko, melampaui jumlah ritel modern yang stagnan di angka 80 ribu.
SRC bukan hanya menjual barang. Mereka mengadopsi QRIS, menggandeng Kredit Usaha Rakyat (KUR), bahkan menjalin kemitraan dengan BRI, BULOG, hingga Telkomsel. Mereka bukan toko, mereka adalah ekosistem.
“Kolaborasi adalah kunci. Inilah bentuk nyata sinergi lintas sektor yang bisa memberdayakan ekonomi rakyat,” kata Ivan Cahyadi, Presiden Direktur Sampoerna, usai penandatanganan MoU strategis dalam acara The Big Idea Forum.
Kemendag sendiri tampaknya enggan hanya menjadi penonton dari revolusi ini. Mereka sedang menyiapkan langkah: evaluasi regulasi distribusi, harmonisasi dengan perdagangan elektronik, serta pendampingan berbasis data untuk pelaku usaha.
Menurut Septo, sektor waralaba bisa menjadi jalan tengah. Terstandarisasi, bisa direplikasi, dan punya potensi ekonomi skala nasional. “Kami harap waralaba bisa menjadi fondasi ekonomi rakyat,” ucapnya.
Akhir dari Era Ritel Lama?
Kematian Joann Inc, penurunan omzet ritel besar, dan menjamurnya toko kelontong digital adalah tanda-tanda zaman. Ritel modern bukan mati, tapi bertransformasi. Yang bertahan adalah yang mampu menawarkan lebih dari sekadar barang. Mereka yang menjadi tempat orang berkumpul, terhubung, bahkan merasa “di rumah”.
Dalam dunia yang makin cepat, personal, dan terkoneksi, pertanyaan penting bagi industri ritel bukan lagi: “Apa yang dijual?” Tapi: “Apa yang dirasakan konsumen ketika membeli?”
Discussion about this post