SUBANG, LIRANEWS.COM | Fenomena mengejutkan terjadi di Pantura Ciasem, Subang, Jawa Barat, di mana ratusan pria berbondong-bondong mengikuti program Keluarga Berencana (KB) melalui metode vasektomi atau Metode Operasi Pria (MOP) setelah dijanjikan insentif sebesar Rp500 ribu dan bantuan sosial.
Program ini digelar oleh Dinas Pengendalian Penduduk, Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP2KBP3A) Kabupaten Subang pada Rabu, 28 Mei 2025 lalu.
Namun, kebijakan ini menuai pro dan kontra. Sebagian pihak menilai bahwa menjadikan vasektomi sebagai syarat bansos berpotensi diskriminatif dan memaksa masyarakat miskin melakukan tindakan medis permanen demi bantuan ekonomi.
Vasektomi adalah prosedur kontrasepsi pada pria yang dilakukan dengan cara memutus saluran sperma dari buah zakar (testis), sehingga mencegah terjadinya pembuahan. Prosedur ini bersifat permanen dan sulit untuk dibatalkan. Basanya dilakukan atas dasar kesadaran dan perencanaan keluarga.
Namun, dalam kasus ini, banyak warga yang terdorong oleh insentif finansial, bukan pemahaman medis atau keinginan pribadi. Hal ini menimbulkan pertanyaan etis tentang apakah kebijakan semacam ini merupakan solusi efektif atau bentuk eksploitasi terhadap masyarakat miskin.
Apakah ini karena kesadaran akan pentingnya keluarga berencana, atau ada tekanan ekonomi yang memaksa mereka mengambil keputusan besar ini? “Kami ikut karena merasa sudah cukup memiliki anak dan biaya hidup semakin tinggi,” ungkap salah satu peserta yang tidak ingin disebutkan namanya.
Kepala Dinkes Kabupaten Subang dr Maxi, S.H, M.H.Kes, menanggapi wacana ini dengan kehati-hatian, menyatakan bahwa meskipun niat untuk mengendalikan pertumbuhan penduduk patut diapresiasi, penerapannya perlu dikaji secara menyeluruh agar tidak menimbulkan polemik di tengah masyarakat.
Ia menyebut vasektomi tidak bisa serta merta dilakukan terhadap pria. Sebab, pria tersebut harus secara sukarela melakukan vasektomi dan tidak ada niat menambah keturunan.
Menurutnya, risiko terbesar melakukan vasektomi adalah ketika pasien mengalami perubahan pikiran dan ingin memiliki anak lagi. “Makanya, pasien harus memikirkan matang-matang sebelum divasektomi,” ujarnya.
Persyaratannya vasektomi harus dilakukan secara sukarela dan mendapat persetujuan istri. “Memiliki jumlah anak yang cukup minimal dua orang yang sudah dewasa,” ucap Ketua IDI Cabang Subang tersebut.
Pemerintah Provinsi Jawa Barat sendiri tengah gencar mendorong partisipasi laki-laki dalam program KB. Komitmen ini bahkan dituangkan dalam surat resmi Sekretaris Daerah yang menginstruksikan seluruh kepala daerah agar mengintegrasikan program bantuan sosial dengan program KB, termasuk memperluas cakupan peserta vasektomi.
Seperti diketahui, usulan kontroversial ini berasal dari Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, yang mengusulkan vasektomi sebagai syarat utama untuk menerima bantuan sosial bagi keluarga prasejahtera. Ia berpendapat bahwa langkah ini dapat mengendalikan angka kelahiran dan menekan tingkat kemiskinan di provinsi tersebut.
Belakangan, mantan Bupati Purwakarta itu mengklarifikasi bahwa vasektomi tidak wajib dan menjelaskan bahwa itu hanyalah anjuran KB, dan KB bisa dilakukan dengan cara lain.
“Ide tersebut merupakan bentuk dukungan terhadap perencanaan keluarga dan tanggung jawab pria dalam KB,” jelasmya.
Sebab. saat ada pasangan menikah maka mereka harus siap dan bertanggung jawab terhadap anaknya mulai dari kehamilan, kelahiran hingga pendidikan.
Discussion about this post